Selasa, 26 November 2013

TAWASSUL DAN TABARRUK

A. Muslimin




Tawassul adalah salah satu jalan dari berbagai jalan tadlarru’ kepada Allah Swt. Sedangkan wasilah adalah setiap sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Firman Allah Swt :

ياايها الذين امنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة وجاهدوا فى سبيله لعلكم تفلحون

            Maknanya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS : al-Maiadah : 35)
            Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasul Saw ketika menguburkan Fatimah binti Asad, ibu dari Ali bin Abi Thalib, Beliau berdo’a :
اللهم بحقى و حق الأنبياء من قبلى اغفر لأمى بعد أمى
           
            Maknanya : “Ya Allah, dengan hakku dan hak-hak para nabi sebelumku, ampunilah dosa ibuku setelah Engkau mengampuni ibu kandungku”. (HR. Tabrani, Abu Naim, Al Haistami, dll).
            Dalil kebolehan bertawasul dengan amal shaleh, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad, yaitu hadits tentang tiga orang dari bani Israil yang terjebak dalam goad an kemudian bertawasul dengan amal shalehnya masing-masing agar selamat dan keluar. Sebagaimana diperbolehkan bertawasul dengan amal shaleh, tawasul dengan orang-orang shaalehpun diperbolehkan, karena pada hakekatnya bukan orangnya yang dijadikan tawasul tetapi amalnya.
            Ulama yang membolehkan bahkan menganjurkan dan mustahab, diantara mereka adalah : Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri wahabi (rasail Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, h. 12), Ibnu Taimiyah (Fatawa al-Kubra, juz I, h. 140), Syekh Muhammad Nashirudin al-Albani (Ayarah Aqidah Thahawiyah, h. 46), Imam Ahmad bin Hambal (Yusuf Hathar, (al-Mausu’ah, 118), Imam Malik bin Anas (Ibnu Hajar, Jauharul Mundzim), Imam Tqiyuddin al-Subki (Syifaul Asqam, h. 161), Imam Syaukani (Tuhfatudzakirin, h. 37), dan yang lainnya.
Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah Saw mengajarkan kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di belakangnya (tidak di hadapannya) dengan mengucapkan:

 "اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي"

Maknanya: "Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan".
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majlis Rasulullah) dan kembali ke majlis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman.
Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia  mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih" [1] -, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama mutaakhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi Muhammad pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa orang-orang Wahabi yang menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur berarti telah mengkafirkan ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits ini untuk diamalkan. Semoga Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus seperti paham orang-orang wahabi ini. [2]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :

 "من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج  أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .
Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya.  [3}
Istilah barakah mengandung makna yang bermacam-macam, disesuaikan dengan penggunaan lafal tersebut dalam sebuah kalimat.
            Barakah antara lain mengandung makna ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh, berkembang). Kedua arti lafal tersebut mencakup sesuatu yang dapat diraba (hissi) dan yang tidak dapat diraba (ma’nawi), artinya berwujud nyata maupun tidak nyata secara bersamaan.
            Barakah pada hakikatnya adalah sebuah rahasia Allah dan pancaran dari-Nya yang bisa diperoleh siapapun yang dikehendaki-Nya. Sedangkan proses untuk mencapai barakah itu dikenal dengan istilah tabarruk, yaitu proses mencari barakah, baik melalui perantara personal maupun dengan tabarruk dengan amal.
وقل رب انزلنى منزلا مباركا وانت خير المنزلين

            Maknany : “Dan berdo’alah : Ya, Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang member tempat”. (QS : al-Mu’minun : 29).
            Rasulullah pernah meminta barakah dengan al-Qur’an (surat al-mu’awwidzatain, an-nass dan al-falaq). Para sahabat meminta barakah didepan makam Rasul Saw. Tabarruk dengan rambut Nabi Saw (HR. Bukhari), Tabarruk dengan pakaian Rasul Saw (HR. Muslim). Tabarruk dengan cincin Rasul Saw (HR. Bukhari). Tabarruk dengan orang-orang shaleh (Imam Subki) dan tempat-tempat suci. (Ibnu Hajar, Fatawa Kubra)
Sedangkan tentang mengambil berkah dengan berziarah ke makam para nabi dan wali, Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :
" ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "

Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu"
Kemudian Rasulullah bersabda :
 " والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق عند الكثيب الأحمر"

            Maknanya : "Demi Allah, jika aku di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar"
Al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :
 ومن مواضع إجابة الدعاء قبور الصالـحين

            Maknanya: " Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh "
Apalagi jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad Saw seperti yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani (H.R. al Bayhaqi, Ibn Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi dan Ibnu Katsir). Hal ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap kuburan al Imam Abu Hanifah.
___________________________________
[1].     Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani. Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal
[2].     Golongan Wahabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengharamkan peringatan maulid Nabi dan membaca al Qur'an untuk orang-orang muslim yang sudah meninggal dan mereka memiliki banyak kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah banyak sekali yang membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah al Mukarramah Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah satu fasalnya berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya as-Suhub al Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H) dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam kitabnya Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan yang panjang lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad ibn Taimiyah.
[3]. Di antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam kitabnya al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti pernyataan bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia sampaikan lewat layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga membolehkan bagi seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri suaminya yang kafir sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di situs-situs internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk orang-orang Islam yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV al Jazirah. Telah banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di antaranya adalah Syekh Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan Menteri Agama dan Urusan Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al Khazraji, Rektor al Azhar University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib asy-Syami (Amin Fatwa Halab, Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari, Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia yang membantah al Qardlawi adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini semua maka kita harus mewaspadai karya-karya al Qardlawi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar