Tawassul adalah salah satu jalan dari berbagai jalan tadlarru’ kepada Allah Swt. Sedangkan wasilah adalah setiap sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Firman Allah Swt :
ياايها الذين امنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة وجاهدوا فى سبيله
لعلكم تفلحون
Maknanya
: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan”. (QS : al-Maiadah : 35)
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasul Saw ketika menguburkan Fatimah binti Asad,
ibu dari Ali bin Abi Thalib, Beliau berdo’a :
اللهم بحقى و حق الأنبياء من قبلى اغفر لأمى بعد
أمى
Maknanya : “Ya Allah, dengan
hakku dan hak-hak para nabi sebelumku, ampunilah dosa ibuku setelah Engkau
mengampuni ibu kandungku”. (HR. Tabrani, Abu Naim, Al Haistami, dll).
Dalil
kebolehan bertawasul dengan amal shaleh, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim dan Ahmad, yaitu hadits tentang tiga orang dari bani Israil yang
terjebak dalam goad an kemudian bertawasul dengan amal shalehnya masing-masing
agar selamat dan keluar. Sebagaimana diperbolehkan bertawasul dengan amal
shaleh, tawasul dengan orang-orang shaalehpun diperbolehkan, karena pada
hakekatnya bukan orangnya yang dijadikan tawasul tetapi amalnya.
Ulama
yang membolehkan bahkan menganjurkan dan mustahab, diantara mereka adalah :
Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri wahabi (rasail Syekh Muhammad bin Abdul
Wahab, h. 12), Ibnu Taimiyah (Fatawa al-Kubra, juz I, h. 140), Syekh Muhammad
Nashirudin al-Albani (Ayarah Aqidah Thahawiyah, h. 46), Imam Ahmad bin Hambal
(Yusuf Hathar, (al-Mausu’ah, 118), Imam Malik bin Anas (Ibnu Hajar, Jauharul
Mundzim), Imam Tqiyuddin al-Subki (Syifaul Asqam, h. 161), Imam Syaukani
(Tuhfatudzakirin, h. 37), dan yang lainnya.
Dalam hadits shahih bahwa Rasulullah Saw mengajarkan
kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di belakangnya (tidak di hadapannya)
dengan mengucapkan:
"اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي
الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي"
Maknanya: "Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a
kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad,
sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar
dikabulkan".
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini.
Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya,
akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di
majlis Rasulullah) dan kembali ke majlis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan
bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa
ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk
ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah
meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman.
Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak
sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti
yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu
ia mendatangi Utsman ibn 'Affan dan
akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat
Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya
hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya
mereka seperti al Hafizh at Thabarani – beliau menyatakan dalam "al Mu'jam
al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini
shahih" [1] -, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits
mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama mutaakhkhirin
yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul
dengan Nabi Muhammad pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di
hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi
setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu
sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits
ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak
ada yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa orang-orang Wahabi yang
menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur berarti telah mengkafirkan
ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits ini untuk diamalkan.
Semoga Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus seperti paham
orang-orang wahabi ini. [2]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam
Sunannya dari Abu Sa'id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata,
Rasulullah bersabda :
"من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني
أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء
سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب
إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في
المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات
الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ
العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل الله عليه بوجهه" ليس
على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .
Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya
untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang
berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan
derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah
bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan
sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku
memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku,
sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah
akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya"
(H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam
"ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah",
al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad
hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al
Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya
bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk
membantah golongan Wahabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan
pelakunya. [3}
Istilah
barakah mengandung makna yang bermacam-macam, disesuaikan dengan penggunaan
lafal tersebut dalam sebuah kalimat.
Barakah
antara lain mengandung makna ziyadah (tambah) dan nama’ (tumbuh, berkembang).
Kedua arti lafal tersebut mencakup sesuatu yang dapat diraba (hissi) dan yang
tidak dapat diraba (ma’nawi), artinya berwujud nyata maupun tidak nyata secara
bersamaan.
Barakah
pada hakikatnya adalah sebuah rahasia Allah dan pancaran dari-Nya yang bisa
diperoleh siapapun yang dikehendaki-Nya. Sedangkan proses untuk mencapai
barakah itu dikenal dengan istilah tabarruk, yaitu proses mencari barakah, baik
melalui perantara personal maupun dengan tabarruk dengan amal.
وقل رب انزلنى منزلا مباركا وانت خير المنزلين
Maknany
: “Dan berdo’alah : Ya, Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati,
dan Engkau adalah sebaik-baik yang member tempat”. (QS : al-Mu’minun : 29).
Rasulullah pernah meminta barakah
dengan al-Qur’an (surat al-mu’awwidzatain, an-nass dan al-falaq). Para sahabat
meminta barakah didepan makam Rasul Saw. Tabarruk dengan rambut Nabi Saw (HR.
Bukhari), Tabarruk dengan pakaian Rasul Saw (HR. Muslim). Tabarruk dengan
cincin Rasul Saw (HR. Bukhari). Tabarruk dengan orang-orang shaleh (Imam Subki)
dan tempat-tempat suci. (Ibnu Hajar, Fatawa Kubra)
Sedangkan tentang mengambil berkah dengan berziarah ke
makam para nabi dan wali, Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa :
" ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "
Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al
Maqdis meskipun sejauh lemparan batu"
Kemudian Rasulullah bersabda :
"
والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق
عند الكثيب الأحمر"
Maknanya :
"Demi Allah, jika aku di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku
perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al
Ahmar"
Al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam
hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang
saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para
ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam
kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :
ومن مواضع إجابة الدعاء قبور الصالـحين
Maknanya:
" Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh
"
Apalagi jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad Saw seperti
yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani (H.R. al Bayhaqi, Ibn
Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi dan Ibnu Katsir). Hal
ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap kuburan al Imam Abu
Hanifah.
___________________________________
[1]. Para ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan
bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu' maupun kadar yang mawquf (peristiwa
di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al Hafizh ath-Thabarani. Masalah
tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini hukumnya boleh dengan ijma' para
ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama madzhab empat seperti al Mardawi
al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam as-Subki asy-Syafi'i dalam
kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi dalam Syarh al Misykat,
Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al Madkhal
[2]. Golongan Wahabi adalah pengikut Muhammad
ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,
mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang
shalih, mengharamkan peringatan maulid Nabi dan membaca al Qur'an untuk
orang-orang muslim yang sudah meninggal dan mereka memiliki banyak
kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah banyak sekali yang
membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah al Mukarramah
Syekh Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah satu fasalnya
berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah
Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya as-Suhub al
Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H)
dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam kitabnya
Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan yang
panjang lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad ibn
Taimiyah.
[3]. Di
antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al
Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang
saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam
kitabnya al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti
pernyataan bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia
sampaikan lewat layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga
membolehkan bagi seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri
suaminya yang kafir sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di
situs-situs internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk
orang-orang Islam yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV
al Jazirah. Telah banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di
antaranya adalah Syekh Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan
Menteri Agama dan Urusan Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al
Khazraji, Rektor al Azhar University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib
asy-Syami (Amin Fatwa Halab, Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari,
Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia
yang membantah al Qardlawi adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini
semua maka kita harus mewaspadai karya-karya al Qardlawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar